Selamatkan Industri Pangan Indonesia

Mengagumkan, transformasi Vietnam dari negeri yang kekurangan pangan, menjadi negara pengekspor beras kedua di dunia. Sebaliknya Indonesia yang pernah swasembada beras (1985,1986,1993), saat ini malah menjadi pengimpor beras terbesar di dunia.

Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah petani. Indonesia berada pada wilayah tropika dengan daratan seluas 192 juta hektar dengan keanekaragaman karakteristik tanah/lahan dan sumber daya hayati yang tinggi. Sektor pertanian berperan penting dalam penyedia dan penyerap tenaga kerja di Indonesia. Ini merupakan  modal dasar untuk menempatkan bidang pertanian sebagai pilar perekonomian nasional yang akhir-akhir ini terbukti cukup tangguh untuk menghadapi krisis global dibandingkan sektor industri. Negara-negara maju yang terkenal sebagai negara industri di dunia, umumnya memiliki sektor pertanian yang sangat kuat, karena mereka sangat menyadari bahwa pertanian merupakan faktor penting dalam mempersatukan bangsanya.

Akan tetapi Indonesia, yang merupakan penghasil padi nomor 3 terbesar di dunia, ternyata merupakan pengimpor padi terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia).


Sumber: Wikipedia

Indonesia yang digembar-gemborkan sebagai negara agraris, ternyata harus mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam. Thailand merupakan pengekspor padi utama (26% dari total padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Vietnam (15%). Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Ini karena kebutuhan beras dalam negeri lebih besar daripada produksi dalam negeri. Contoh pada 2010, produksi beras Thailand hanya 20 juta ton, tetapi kebutuhan masyarakatnya hanya 10 juta ton. Indonesia sendiri produksi beras mencapai 37,5 juta ton, tetapi kebutuhan masyarakat Indonesia per tahun 33,5 juta ton, surplus 4 juta ton masih sangat kurang sebagai cadangan. Dari sisi konsumsi beras, Vietnam konsumsi beras per kapitanya 200-an kg per tahun, Indonesia 100 kg per tahun, Malaysia 80 kg, Thailand 70 kg. Dan selama 4 tahun terakhir, konsumsi beras Vietnam meningkat terus, tetapi produktivitas beras Vietnam pun meningkat dari 35,94 juta ton tahun 2007, 38,72 juta ton pada 2008, 38,89 juta ton pada 2009, dan 39,9 juta ton pada 2010. Oleh karena itu ada baiknya Indonesia belajar dari Thailand dan Vietnam dalam hal pangan ini.

Duta Besar Indonesia untuk Thailand Mohammad Hatta pernah menyampaikan program pemerintah Thailand yang tertuang jelas dalam Thai Rice Master Strategies 2007-2011. Dalam kebijakan tersebut, Thailand menargetkan perluasan lahan persawahan mencapai 9,2 juta hektare. Bandingkan dengan Indonesia yang merencanakan penambahan luas lahan sawah sebesar 300 ribu hektare di tahun 2015. Thailand juga memberikan berbagai penyuluhan dan program pelatihan bagi petani, dan menargetkan sebanyak 1 juta orang petani mendapatkan ilmu pengetahuan tentang produksi dan manajemen produksi. Menurut Hatta, dengan didukung penelitian dan fasilitas infrastruktur, serta berbagai pelatihan tersebut, petani Thailand tidak terdorong untuk alih profesi. Bahkan, interaksi aktif masyarakat petani dengan pemerintah mendorong pola pikir dan mental petani untuk menjadi petani unggul. Sementara, di Vietnam, petani diberikan berbagai insentif untuk mendorong produktivitasnya. Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Pitono Purnomo menyampaikan petani dibebaskan berbagai jenis pajak, mulai dari pajak penggunaan lahan, pajak irigasi, sampai pajak impor mesin pertanian untuk mendorong produktivitasnya.

Sebenarnya Indonesia juga punya program swasembada beras pada tahun 2014, dengan surplus produksi beras nasional hingga 10 juta ton di tahun itu. "Dan ini sudah mulai dilakukan oleh petani melalui SRI atau system of rice intensification," ujar Menteri Pertanian Suswono saat mengunjungi Kabupaten Tegal, Sabtu, 3 Desember 2011. Berdasarkan laporan yang ia terima, saat ini rata-rata program intensifikasi beras telah berhasil dilakukan oleh petani. Upaya lain adalah dengan penambahan lahan padi di luar Pulau Jawa. Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi penyempitan lahan pertanian di Pulau Jawa sendiri. Selain itu, juga diupayakan pengembangan teknologi informasi bagi tenaga penyuluh yang selama ini menjadi konsultan petani.

Bulog bahkan merencanakan stop impor beras tahun 2012 ini juga. Bulog telah menyiapkan Letter of Credit (L/C) sebesar Rp3 triliun untuk menyerap produksi dalam negeri. Dalam hal ini Bulog telah mentargetkan pengadaan beras dalam negeri tahun 2012 sebesar 4.100.000 ton, yang berarti Bulog benar-benar tidak akan melakukan impor beras lagi, kecuali dari carry over tahun 2011 impor sebesar 560.000 ton. Terkait kebijakan impor beras, Sutarto, Dirut Bulog, hanya memastikan Bulog akan terus menjaga hubungan baik dengan negara-negara pengekspor seperti Vietnam, Thailand, dan India. Wakil ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo menambahkan, untuk selanjutnya Bulog harus bisa bersinergi dalam program tersebut berkaitan dengan penyerapan beras dalam negeri, serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani, yaitu dengan cara beras petani tidak dibeli oleh tengkulak.

Mari kita lihat fakta permasalahan yang ada.

Dari sisi petani:
Bukan menjadi rahasia lagi jika di Indonesia yang negara agraris ini, petani adalah pihak yang paling tidak diuntungkan. Pemerintah tidak berpihak kepada petani: infrastruktur daerah pertanian dan pedesaan yang diabaikan, urbanisasi dibiarkan, standart kehidupan daerah pedesaan yang rendah, pemakaian dan harga pupuk meningkat, harga komoditas ditekan, tidak ada pengaturan waktu panen yang berakibat jatuhnya harga, kebijakan impor pemerintah terhadap hasil pertanian tanpa ada upaya peningkatan volume dan kualitas produksi di dalam negeri, dan penguasaan teknologi pertanian yang ketinggalan jaman. Permasalahan rantai distribusi sektor pertanian sangat kronis. Kelangkaan pupuk bersubsidi, praktek penimbunan pupuk dan permainan mafia pupuk semakin mempersulit petani.

Masalah lain adalah kepemilikan lahan. Lahan yang digarap petani pada umumnya jauh di bawah standar skala nasional. Luas areal pertanian padi yang digarap petani di Pulau Jawa rata-rata cuma 0,3 hektar per orang. Kenyataan itu membuat pendapatan dan kehidupan petani takkan membaik, tetapi bertambah miskin. Dari pemerintah sendirh tidak pernah ada solusi. Padahal di Thailand sedang dirancang dalam 10 tahun mendatang setiap petani dapat menggarap lahan rata-rata 2 hektar (Siswono Ketua HKTI).

Harga gabah adalah masalah berikutnya. Di sejumlah wilayah sentra beras di Pulau Jawa standar HPP gabah dan beras semakin tidak sesuai dengan ongkos produksi. Ketidakpastian cuaca, serangan hama penyakit, serta tuntutan kenaikan upah pekerja membuat biaya produksi cenderung meningkat. Harga buruh tani naik dari 35 ribu rupiah menjadi 50 ribu rupiah per harinya. Sementara untuk masa tanam 4 bulan, petani hanya memperoleh pendapatan bersih 3 juta rupiah.

Permasalahan bertambah rumit bagi petani kecil terutama dalam hal mendapatkan benih, pupuk, pestisida dan mesin dan penguasaan tanah. Lemahnya posisi tawar petani dimanfaatkan oknum mafia pertanian dan para tengkulak untuk mengambil untung sebesar-besarnya. Ditambah lagi dengan gagal panen akibat faktor alam. Pada Januari-Agustus 2011, data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menunjukkan, serangan organisme pengganggu tumbuhan, banjir, dan kekeringan seluas 606.095 hektar, lebih luas daripada Januari-Desember 2010. Atau, secara nyata produksi padi yang lenyap dimakan wereng, tikus, banjir, kekeringan, kerdil hampa, kerdil rumput, dan penggerek batang sebanyak 2 juta ton gabah kering giling, setara 1,22 juta ton beras.

"Petani terutama di daerah perkotaan banyak yang putus asa, lalu terpaksa harus menjual sawahnya, yang akhirnya jatuh miskin," ujar Prof Windia Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Meskipun demikian, sektor pertanian masih menjadi gantungan hidup 42% masyarakat Indonesia. Mereka berketerampilan pas-pasan dengan produktivitas rendah. Pertanian akhirnya identik dengan keterbelakangan dan kemiskinan.

Dari sisi pemerintah:
Pemerintah tak memiliki desain yang komprehensif untuk mensejahterakan petani, peternak, dan nelayan. "Saya lihat pemerintah kita tidak memiliki desain yang lengkap untuk menjadikan setiap komoditas yang diproduksi petani diolah lagi. Minimal produk setengah jadi. Kakao, misalnya, kita lebih suka mengekspor gelondongan. Akibatnya, nilai tambah tak kita dapatkan, industri kakao nasional pun hancur. Hal ini disadari semua pihak, tetapi jarang dilakukan terobosan," kata Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo (2/7/2004).

Persaingan harga juga berpotensi menghancurkan produk-produk pertanian dalam negeri. Pasalnya harga produk pertanian luar negeri lebih murah dibanding harga produk pertanian lokal. Hal ini dikarenakan negara maju memiliki konsep dan tata distribusi yang jelas baik dalam pengadaan pupuk, benih sampai hasil panen pertanian. Di bidang teknologi dan mekanisasi, Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara maju. Pemerintah Indonesia belum mampu mengolah dan mengoptimalkan sumber daya alam yang ada karena keterbatasan dana dan teknologi yang dimiliki.

Para petani kurang mendapat perhatian serius sehingga masih bercocok tanam secara tradisional. Tak ada inovasi yang dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian, dana yang seharusnya digunakan untuk pengembangan sektor pertanian justru dikorupsi pejabat daerah, banyak sawah menjadi kering dan terbengkalai akibat kemarau berkepanjangan dan kurangnya pasokan air irigasi. Banyak lahan pertanian yang berubah menjadi permukiman. Ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola sektor pertanian menyebabkan hasil pertanian tidak optimal, sehingga hasil pertanian seperti beras masih belum cukup memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya pemerintah terpaksa harus impor beras dari Thailand dan Vietnam yang justru kelebihan pasokan beras.

Mafia pangan dari yang kecil sampai yang besar:
Kekayaan sumber daya alam secara teoritis akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi pada kenyataannya justru bertentangan, karena negara-negara di dunia yang kaya akan sumber daya alamnya seringkali merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang rendah. Hal ini karena sumber pendapatan dari hasil bumi memiliki kestabilan ekonomi sosial yang lebih rendah daripada sektor industri dan jasa. Di samping itu, negara yang kaya akan sumber daya alam juga cenderung tidak memiliki teknologi yang memadai dalam mengolahnya. Korupsi, lemahnya pemerintahan dan demokrasi juga menjadi faktor penghambat lainnya. Hal-hal seperti itu memicu timbulnya mafia-mafia di berbagai bidang, termasuk di sektor pertanian, mulai yang kecil-kecilan seperti tengkulak, sampai ke kelas kakap seperti mafia pupuk dan mafia impor. Jaringan mafia ini biasanya berakar jauh ke dalam birokrasi pemerintahan, dan menyebabkan sulitnya program pemerintah bisa berjalan dengan benar.

Contoh dari besarnya mafia pupuk adalah macetnya program Pemulihan Ke­suburan Lahan Sawah Ber­ke­lanjutan (PKLSB) untuk 1,4 juta hektar lahan di seluruh Indo­nesia. Ketua Gabungan Kelompok Usaha Tani (Gapoktan) Jawa Ti­mur Agus Supriyadi mensinyalir, mandek­nya program ini diduga karena ada perubahan produk yang di­pakai sebelumnya. Program PKLSB telah berjalan pada APBNP ta­hun 2010 dengan nilai anggaran Rp 300 miliar meliputi 855.000 hektar lahan di 8 pro­vinsi dengan jang­kauan 2 juta petani. Hasil program sangat me­muaskan, pening­katan pro­duksi di atas 40 persen, pe­ngu­rangan pupuk kimia 30-40 per­sen, mutu produksi yang semi or­ganik, pengurangan emisi kar­bon karena penggunaan jerami 90 persen dan peningkatan ke­se­jah­teraan petani yang sig­nifikan. “Tapi sekarang program pro rakyat ini terancam gagal dilan­jutkan diduga karena ada kepen­tingan pribadi pejabat negara. Disinyalir ada tekanan dan lobi-lobi dari mafia pupuk terhadap pejabat negara,” ungkap Agus. Patut dicurigai bahwa jaringan mafia telah menguasai industri pangan Indonesia di seluruh sektornya.

Mengingat rumitnya masalah, terlihat betapa sulitnya untuk mengandalkan program pemerintah sedangkan permasalahan kian mendesak. Kerumitan pemerintah terlihat dari ranking korupsi Indonesia. World Justice Project (WJP) menyatakan bahwa korupsi sudah merembes ke mana-mana. Tingkat korupsi di Indonesia nomor dua dari bawah di regional Asia Timur-Pasifik dan nomor 47 global. Di regional, tingkat korupsi Indonesia hanya lebih baik ketimbang Kamboja. Sedangkan dari skor CPI(Corruption Perception Index), skor Indonesia adalah 3.0, berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4). Skor tersebut naik 0.2 dari 2,8 (2010), dengan target 5.0 di tahun 2014. Jika target ingin dicapai, maka kenaikan CPI/tahun seharusnya 0.55. Kenaikan 0.2 jelas jauh dari cukup, dan disinyalir kenaikan itupun karena adanya KPK, sedangkan wewenang KPK saat ini sedang diupayakan digerogoti oleh MPR. Maka dapat diharapkan bahwa skor CPI justru akan turun lagi.

Sedangkan dari data PERC lebih mengkhawatirkan lagi, dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) . Pada tahun 2009, Indonesia ‘berhasil’ menyabet prestasi sebagai negara terkorup dari 16 negara surveilances dari PERC 2009. Indonesia mendapat nilai korupsi 8.32 disusul Thailand (7.63), Kamboja (7,25), India (7,21) and Vietnam (7,11), Filipina (7,0). Sementara Singapura (1,07) , Hongkong (1,89), dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih.

Melihat fakta-fakta di atas, maka sulit bagi rakyat petani untuk bisa mengandalkan pemerintah untuk mengangkat nasib mereka. Oleh karena itu apabila pemerintah sudah tidak bisa diandalkan, maka sebaiknya ditinggalkan. Petani, sebaiknya melakukan tindakan swadaya mandiri, melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pemerintah, bagaimanapun caranya. Untuk itu memang dibutuhkan bantuan dari ahli-ahlinya, baik itu ahli pangan dan tanaman, ahli pemasaran, dan ahli manajemen, ataupun ahli-ahli lain yang terkait, yang mau sukarela bekerja demi menyelamatkan negara ini, baik perorangan, maupun secara kelembagaan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Jangan sampai negara ini hancur karena segelintir orang di pemerintahan.

Sebagai alternative solusinya adalah dengan membangun jaringan baru di luar jaringan yang ada, sehingga bisa menghindari ketergantungan kepada pemerintah. Kemajuan teknologi hidroponik membuat hal ini mungkin bisa direalisasikan. Jepang sukses mengembangkan hidroponik padi. Teknologi ini bisa menyelesaikan masalah kekurangan lahan, menghindari persaingan harga yang frontal, mengurangi kebutuhan pestisida, dan mempunyai jaringan pemasaran yang lebih baik. Kelemahannya adalah kebutuhan pupuk yang sama dengan sistem konvensional, transfer teknologi, dan biaya awal. Tentu saja itu hanya sekedar usulan alternative. Para pakar di bidang panganlah yang lebih mengerti.

Apa yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa industri pangan Indonesia haruslah segera diselamatkan, terutama nasib dari para petaninya. Industri pangan harus diperluas sehingga tidak ada ketergantungan terhadap padi lagi. Sumber pangan lain harus ditemukan dan dikembangkan. Semoga para pakar pangan terinspirasi untuk segera bertindak sesuai dengan kompetensinya masing-masing, tanpa tergantung kepada pemerintah lagi.