Bahkan Usahapun Ada Batasnya


Artikel ini tidak membahas bagaimana cara mencapai batas maksimum seseorang dalam berusaha. Itu adalah tugas para motivator. Di sini akan dibahas batasan-batasan yang seharusnya tidak boleh dilampaui seseorang dalam berusaha.
  • Segala sesuatu ada batasnya, hanya Tuhan yang tak terbatas.
  • Segala sesuatu pasti ada sisi yang berlawanannya, plus-minus positif-negatifnya, sisi baik-buruknya.
  • Segala sesuatu yang terlalu atau berlebihan pasti tidak baik.
Ketiga hal di atas adalah ungkapan yang umum tentang batasan, yang menjadi 'kebenaran' yang diterima umum. Nah bagaimanakah jika ketiga kebenaran di atas diujikan terhadap sesuatu yang seringkali dianggap hanya berisi kebaikan saja? Yaitu 'usaha'. Adakah batasan dari sesuatu yang baik, dalam hal ini 'usaha'?Banyak sekali ungkapan mengenai 'usaha', yang selalu cenderung menonjolkan sisi baiknya. Misalnya:
  • Manusia hidup harus berusaha.
  • Tidak ada keberhasilan tanpa usaha.
  • Tidak ada kerugian dalam usaha, hanya ada kebaikan di dalamnya.
  • Usaha itu tidak ada batasnya. 
  • Berusahalah sampai titik darah terakhir.
  • Berusahalah sekeras dan semaksimal mungkin. 
  • Jangan pernah putus asa dalam berusaha. 
Begitu pentingnya kedudukan 'usaha', sampai-sampai timbul ungkapan: 'Yang penting usaha', atau 'Namanya juga usaha', atau 'Usaha haruslah totalitas', yang bahkan akhirnya tak jarang menabrak batas-batas baik-buruk, benar-salah, dan halal-haram. Maka jelaslah bahwa 'usaha'-pun ada sisi positif-negatifnya, baik-buruknya. Bahwa 'usaha'-pun ada batas-batasnya yang tidak boleh dilampaui. Terutama jika mengingat ungkapan-ungkapan umum di bawah ini:
  • Sebaik-baik urusan/jalan adalah yang tengah-tengah.
  • Keseimbangan adalah salah satu unsur terpenting dalam hidup.
  • Hidup tidak boleh ngoyo, karena akan merusak diri sendiri.
  • Usaha yang terlalu keras di satu sisi pasti akan mengorbankan sisi lainnya.
Jika ungkapan-ungkapan di atas dirangkum dan dengan mengadopsi diktum terkenal bahwa "kebebasan seseorang individu dibatasi oleh kebebasan individu lainnya", maka didapatlah bahwa "yang membatasi hak 'usaha' seseorang adalah hak-hak orang lain", atau lebih luas adalah bahwa yang membatasi suatu 'usaha' adalah pemenuhan dari hak-hak yang berkaitan dengan 'usaha' itu sendiri, yaitu:
  • Hak orang-orang terdekat: Pasangan hidup, anak, orangtua, orang yang menjadi tanggungan, orang miskin di sekitar lingkungan, dst.
  • Hak  negara (pajak), atau hak orang lain: orang miskin (zakat), kompetitor atau sesama peng-'usaha', masyarakat sebagai stake holder, dst. Bahkan,
  • Hak diri sendiri: karena tubuhpun berhak diistirahatkan, fikiran berhak disegarkan lagi, dan jiwa berhak dimurnikan kembali. 
  • Hak Tuhan, yang berarti adalah kewajiban beribadah. Ini bagi yang merasa beragama.
Maka batasan dari 'usaha' bisa dikategorikan menjadi dua:
  • Batasan external, seperti: undang-undang, peraturan, ajaran agama, dan norma-norma yang berlaku. Batasan ini biasanya mengatur mana yang hak seseorang dan mana yang bukan haknya.
  • Batasan internal, yang berasal dari diri sendiri. Batasan ini ditetapkan oleh hati nurani, dan ini sangat relatif dan bervariatif bagi setiap orang. Batasan ini menekankan pentingnya keseimbangan dalam hidup, dan konsekuensi yang dihadapi bila keimbangan ini diabaikan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan batasan ini antara lain: kekeluargaan, kesadaran lingkungan, keimanan, kekuatan, kemampuan, umur, dst.
Bila digambarkan maka kira-kira akan seperti ini:


Dari gambar di atas dapat ditarik beberapa catatan:

  • 'Usaha' memang tidak ada batasnya, tapi arah dari 'usaha' ada batas-batasnya.
  • Area usaha ideal berada di kuadran 1 kanan-atas, di area keseimbangan. Area ini relatif jauh lebih sempit dibandingkan dengan keseluruhan empat kuadran. Hambatan untuk ber-'usaha' di area ini akan mendorong arah 'usaha' untuk berbelok ke kiri dan ke bawah.
  • Arah usaha yang keluar dari area keseimbangan akan rawan terhadap 'gaya tarik keserakahan'. Ini menyebabkan arah 'usaha' cenderung semakin berbelok ke kiri atau ke bawah. Dan akhirnya akan berhenti di kuadran 4.

Contoh kasus yang umum:
Kondisi berusaha yang kurang kondusif, seperti sempitnya lapangan kerja, akan mendorong orang untuk mencari arah 'usaha' keluar dari area keseimbangan, dan tak jarang yang akhirnya masuk ke area 2 'tujuan menghalalkan cara' atau area 3 'ekploitasi & cari celah'. Contoh yang ke area 2 adalah: Berjualan di trotoar atau di jalan raya. Ini jelas melanggar hak pejalan kaki atau pengguna jalan, dan wajib untuk ditertibkan. Biarpun begitu, kesalahan tidak bisa sepenuhnya ditimpakan ke para pedagang, tapi juga ke pemerintah karena tidak mampu menertibkan dan memberi tempat yang layak untuk berjualan. Sedangkan contoh yang ke area 3 adalah: Suap-menyuap sogok-menyogok yang biasa terjadi jika ingin mendapat proyek. Ini melanggar hak dari sesama peng-'usaha' atau kompetitor untuk mendapatkan kesetaraan kesempatan atau fairness dalam berusaha.

Cara pandang masyarakat yang tinggi terhadap 'usaha' dan kondisi 'usaha' yang kurang baik mengakibatkan pergeseran cara pandang terhadap 'usaha' yang baik dan benar. Area hijau yang seharusnya berada di area-keseimbangan menjadi melebar sampai ke kuadran 2 dan kuadran 3. Maka tidaklah mengherankan jika hal tersebut menyebabkan adanya toleransi masyarakat yang tinggi terhadap korupsi, yang berada di kuadran 4.

Catatan:
Variabel dari kehidupan nyata sangatlah banyak, sedangkan variabel yang tercakup di suatu diagram sangatlah terbatas. Maka diagram di atas hanyalah upaya pendekatan belaka, yang sewaktu-waktu bisa diubah jika ada variabel penting lainnya yang harus dimasukkan.




  1. Yes. Usaha tanpa batas akan cenderung merugikan masyarakat luas. Terimakasih

    BalasHapus