Antara Bangga dan Malu


Kasus-kasus yang memalukan di negeri ini:

  • Sudah banyak kasus kebejatan moral di kalangan polisi. Apakah ini membuat orang malu menjadi polisi? Rasanya kok tidak. Orang masih bangga menjadi polisi.

  • Sudah banyak kasus kebejatan moral di kalangan pegawai negeri. Apakah ini membuat orang malu menjadi pegawai negeri? Jelas tidak. Orang masih antri menjadi pegawai negeri, dan jelas bangga.

  • Sudah banyak kasus kebejatan moral di kalangan anggota DPR. Apakah ini membuat orang malu menjadi anggota DPR? Pasti tidak. Segala cara dipakai agar jadi anggota DPR, dan itu adalah kebanggaan yang luar biasa.

  • Sudah banyak hujatan bagi para koruptor. Apakah itu membuat orang malu menjadi koruptor? Sama sekali tidak kelihatan. Hampir semua koruptor yang tertangkap itu senyum-senyum ketawa-ketawa.
Apakah mereka tidak punya rasa malu? Itu mungkin saja.

Kemungkinan lain adalah karena rasa bangga yang terlalu besar dibandingkan dengan rasa malunya. Bangga dengan jabatannya, dengan jumlah uang yang didapatkannya, dengan penghormatan yang didapatkannya, dan seterusnya.

Rasa malu bisa ditimbulkan dengan pelajaran akhlak agama dan sanksi sosial. Pelajaran akhlak agama hanya berguna jika diberikan di saat masih anak-anak, tapi hampir-hampir tak ada bekasnya pada orang dewasa. Untuk orang dewasa, rasa malu harusnya ditimbulkan melalui sanksi sosial. Tapi sayangnya, hal inipun ternyata tidak berjalan di negeri ini.

Rasa malu adalah ibarat pakaian. Rasa bangga tanpa pakaian rasa malu akan menjerumuskan seseorang ke arah kebanggaan yang salah, kebanggaan yang tidak terhormat, kebanggaan yang tidak tahu malu, dan akhirnya kesombongan yang sesat.

Sebaliknya, rasa bangga yang dibalut dengan pakaian malu, akan membawa seseorang ke kebanggaan yang positif, kebanggaan yang terhormat, yang akan menimbulkan keharuman bagi diri sendiri, lingkungan, bangsa, dan negara.

Jika rasa malu susah ditimbulkan, maka rasa banggalah yang harus dikurangi. Kebanggaan berlebihan sebagai anggota polisi, sebagai pegawai negeri, sebagai anggota DPR, atau sebagai koruptor sukses, harus dikurangi habis. Kebanggaan yang salah arah seperti kekuasaan, penghormatan, exklusifitas, atau kemewahan kekayaan haruslah diganti dengan kebanggaan karena prestasi, karena profesionalisme, atau karena pengabdiannya.

Jika masyarakat dan pemerintah tidak mau mengurangi rasa bangga pada posisi-posisi di atas dan posisi lain yang sejenisnya, maka tetap saja akan terjadi ketimpangan antara rasa malu yang sama sekali tidak sebanding dengan rasa bangganya. Ini berarti akan selalu terulang kembali kebejatan-kebejatan moral di negeri ini.
...